aialdblog

Friday, October 27, 2006

SUDAH SIAPKAH KITA?


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan.” (QS. 29:57)

ALLAH telah mengingatkan kita bahwa kematian adalah kemestian yang akan dihadapi oleh tiap yang berjiwa. (Q.S Ali Imran:185)

Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. 62:8)


Ada seseorang yang selama hidupnya beramal dengan amalan ahli surga tapi ia mengakhirinya dengan amalan ahli neraka. Ada pula seseorang yang mengerjakan amalan ahli neraka dalam hidupnya, akan tetapi ia mengakhirinya dengan amalan ahli surga. (H.R Muslim)

Kereta bawah tanah (U Bahn) jurusan Laimer Platz baru saja meninggalkan stasiun kereta Neuperlach Sud. Aku yang kali ini agak lambat tiba di stasiun karena terpaksa menyelesaikan laporan bulanan, harus kebagian gerbong pertama yang notabene sering kelebihan penghuni. Aku bilang terpaksa, soalnya bule yang biasanya kebagian tugas untuk satu ini tiba-tiba saja minta cuti sejak kemarin berhubung ada keperluan penting terkait rumah yang sedang dibangunnya, dan sialnya tanpa minta persetujuanku langsung menunjukku sebagai caretaker tugasnya selama doi cuti. Aku segera mengambil posisi duduk di kursi yang masih tersisa, di depan jejeran kursi bertanda khusus (tanda plus- + - besar ) yang biasanya disediakan untuk penumpang berusia lanjut. Kalau tidak berada dalam situasi seperti ini, aku biasanya selalu memilih gerbong terbelakang yang paling strategis untuk penyambungan kereta berikutnya di Odeonsplatz, dan seringkali tiba 2 atau tiga menit sebelum jadwal berangkat kereta dengan berpatokan pada jadwal yang kuundah (hmmm….kata temanku Donnie ini bahasa Indonesia untuk download) dari internet.

Di depanku duduk seorang bapak berkumis berusia lanjut, kutaksir mungkin sekitar enampuluhan. Ibarat film dokumenter, tanpa bisa kutahan, pikiranku tiba-tiba saja melayang kembali mengingat kenangan tentang bapakku sendiri. Bayangan bapakku berkelebat. Fragmen-fragmen yang sempat terekam lekat di ingatan kembali menyeruak satu demi satu hadir tersusun bagai slide.Bapak yang senantiasa berusaha menunaikan shalat tahajud meski kadang harus duduk diatas kursi, yang akan terkekeh-kekeh bila saya menggoda gigi ompongnya, yang kelihatan sangat bergembira saat saya membelikan tongkat dan sandal khusus saat telapak kakinya membengkak, yang masih tetap berusaha mengelap mobil sedan Toyotanya meski itu tak pernah dikemudikannya lagi beberapa tahun belakangan. Ia yang seringkali mengingatkan agar shalatku tak putus dan senantiasa rajin berbuat kebajikan itu telah pergi Nelangsanya, adalah bahwa saya selalu merasa belum berbuat cukup untuk membahagiakan beliau.

Yangpaling tertanam di benak adalah bahwa menjelang kepergiannya, ada beberapa kejadian yang mungkin adalah firasat atau petunjuk atau apapun istilahnya mestinya kami semua sadari adalah isyarat sebelum kepergiannya merengkuh ajal :

Pertama:

„Man…., nanti kalau bapak meninggal, bapak ingin dimakamkan di bukit itu, berdampingan dengan kakek dan nenekmu“ kata bapakku beberapa tahun silam seraya menunjuk ke arah bukit di sisi kiri mobil saat kami sedang dalam perjalanan menuju ke Sinjai yang berjarak sekitar 255 km dari Makassar ibukota propinsi Sulawesi Selatan.

Aku saat itu langsung saja mengiyakan tanpa berminat melanjutkan percakapan tersebut. Ndak ngeh atau memang karena nggak lagi dalam mode on yang poll. Dalam perjalanan panjang, aku memang sering memilih tidur atau tepatnya memaksa mata ini tertutup untuk sekedar mengurangi rasa bosan dan mual yang tanpa ba bi bu sering muncul.


Kedua:

Beberapa tahun kemudian, persisnya di bulan Mei lalu saat masih bertugas di Dubai, tiba-tiba saja bapakku kepingin kami semua berkumpul. Aku yang memang masih punya jatah cuti tahunan sebelum dipindah ke Munich langsung minta approval untuk cuti dan pesan tiket dari travel agent yang punya rate khusus buat perusahaan ini, dan beberapa hari kemudian langsung terbang ke Makassar via Jakarta. Kakakku yang menikah dengan gadis Solo dan tinggal disana juga dipanggil balik ke Makassar. Alasan beliau katanya kangen dan ingin melihat cucu-cucunya ngumpul bareng. Rumah dan pagar disuruh cat ama tukang becak langganan kami, pekarangan rumah dirapikan seolah ingin menyambut tamu agung saja layaknya.

Di hari reuni itu, tepatnya hari Ahad tanggal 09 April 2006 Bapak, Ibu, tiga anak-anaknya bersama cucu-cucunya yang berjumlah delapan orang akhirnya berkumpul. Keluarga besar kami yang tinggal di Makassar dan sekitarnya turut diundang untuk makan siang bersama.

Bapakku entah mendapat kekuatan darimana tiba-tiba kelihatan bugar saat itu. Penyakit asam urat langganan beliau setahun ini yang kerap datang mengganggu dan ditandai dengan membengkaknya kaki kanan dan kiri seolah hilang saat itu. Bahkan sebelumnya beliau bela-belain mesan kambing untuk dikari dan minta khusus otaknya buat dia saja. Phiuhhh kantong kolesterol banget kan? Cucu-cucunya yang berlarian kesana kemari - yang biasanya bakalan kena semprot kalo ribut-, kali ini bagai bebas tanpa kendali. Ia bahkan melarang kami untuk melarang pasukan kecil itu ribut. “Biarkan saja…, nanti juga bakalan capek sendiri”, begitu katanya saat itu.

Ketiga:

Ketika duduk-duduk di depan rumah saat habis mengantarkan oleh-oleh baju kaos bertuliskan Dubai pesanannya sambil minum teh kesukaannya, dia memberi penuturan seolah-olah sudah memberi “porsi” kami masing-masing. Man, kamu nanti bakalan dapat ini, si Yos ambil yang itu, dan yang itu adalah untuk si Irma…. Aku yang saat itu mendengarkannya langsung cuma tersenyum-senyum sendiri, karena menyangka itu hanya percakapan sambil lalu saja yang keluar dari mulut Bapak.

Aku ingat sekali pada hari itu tanggal 10 April 2006, saat dalam perjalanan pulang dari acara pernikahan kemenakanku (anaknya kakak sepupu pertama dalam keluarga besar kami), aku mendapat telpon dari ibuku, minta tolong untuk mengantar ayah ke dokter ahli langganannya. Sudah menjelang malam, saat aku selesai menebus obat untuknya di apotek dan kemudian mengantarkannya pulang ke rumah untuk beristirahat. Selanjutnya, kembali Ibu menelponku dua hari kemudian untuk datang kembali, kali ini untuk mengantarkannya ke rumah sakit, karena bapakku merasakan sakit sekali di bagian perut dan dadanya selepas shalat Subuh setelah mengantar kakakku beserta keluarganya yang pamitan untuk pulang ke Solo. Pakaian beliau sudah dikepak saat aku tiba disana. Mie Titi yang dipesannya kemarin masih belum disentuhnya sejak siang tadi. Kondisi Bapakku memang kelihatan sudah drop sekali saat itu. Obat dari dokter yang lalu pun masih belum separuhnya dikonsumsi.

RSWS (Rumah Sakit Wachidin Sudirohusodo :-) pada malam itu kelihatan ramai seperti biasa, layaknya rumah sakit pemerintah lainnya di tanah air. Kereta dorong pasien segera menjemput didepan UGD untuk membawa bapak ke bangsal untuk menunggu pemeriksaan dari dokter jaga malam itu. “Tensi darahnya diambil, dan air seninya menyusul kalau ia buang kecil nantinya”, kata salah seorang anak Co-Assistant (betul begini tulisannya?) malam itu.

Pemeriksaan awal memang sudah cukup mengejutkan kami pihak keluarga, karena beliau ternyata mengidap penyakit komplikasi ginjal dan sekaligus jantung, penyakit yang selama ini tak pernah kami duga diidapnya karena beliau sendiri tidak pernah mengeluhkannya. Memang pernah operasi usus turun berpuluh tahun lalu, tapi sejak itu tak pernah dikeluhkannya lagi. Penyakit asam urat yang selama ini sering datang malah tak dideteksi sama sekali oleh dokter.

Sangat kasihan sekali melihatnya meminta obat penghilang rasa sakit sejenis aspirin, namun tidak dapat kami kabulkan karena setiap obat yang dikonsumsinya sejak masuk rumah sakit haruslah obat yang direkomendasikan oleh dokter, dan Aspirin jelas-jelas tidak termasuk diantaranya. Belum lagi suasana bangsal yang kurang mendukung karena cukup banyak pasien yang harus menginap juga disitu. Jatah kamar pun belum ada lagi karena semua ruang VIP ternyata full untuk malam itu.

Waktu terasa sangat lambat berjalan. Rintihan Bapak makin lamat tertelan oleh malam. Rasa sakit yang dirasakannya hanya bisa sedikit dikurangi oleh tidur yang aku yakin tidak sepenuhnya bisa dia nikmati. Aku baru bisa pulang ke rumah jam 03.00 dinihari untuk beristirahat sejenak.

Jam sepuluh pagi kami segera bergegas kembali ke rumah sakit karena ada kabar kalau bapak sekarang harus dibantu pernapasan. Duarrrr….. pertanda apa pula ini. Tiba dirumah sakit sudah kelihatan banyak kerabat yang berkumpul. Baru sekarang aku berusaha memupuk semangat ketabahan untuk meyakini bahwa saat itu mungkin tak lama lagi akan tiba baginya. Tiap orang akan memang akan pergi, tapi membayangkan kalau orang itu adalah orang yang dekat dihati kita sangatlah menyesakkan dada.

Beberapa menit sebelum menjelang kepergiannya, Bapak terlihat berusaha melepaskan alat bantu pernapasannya. Kami berusaha memasangkan kembali, tetapi tetap juga dilepaskannya. Akhirnya kami semua yakin bahwa inilah saatnya. Alat itu kemudian kami lepaskan. Alat monitor jantung yang tadinya sudah dipasangkan ikut dilepaskan oleh dokter. Paman (adik bungsu Bapakku) kemudian berinisiatif menuntun bapak melafalkan kalimah syahadat berulangkali. Entah pada hitungan keberapa kali, akhirnya kemudian beliau pergi. Pria kelahiran Kajuara, Bone 06 Nov 1939 lalu akhirnya berpulang ke rahmatullah di Makassar, 13 April 2006 saat matahari hampir tepat berada di ubun-ubun.

Selamat berpulang kepada-Nya, Bapakku sayang…
Semoga diterima semua amal ibadah, diampuni dosa-dosa yang ada.
Sampai bertemu kembali, saat kita dibangkitkan, dan bersaksi tentang diri kita
di padang Masyhar kelak
Wajah tenang dengan ekspresi teduhmu memberi harapan bagi kami

Insyaallah engkau pergi dengan husnul khatimah…

Amieenn …


Suara tangis yang kami tadi tertahan akhirnya pecah juga. Hebatnya, ibuku tampak diam dan kelihatan sangat tenang melalui satu babak perjalanan kehidupannya ini. Suami yang mendampinginya selama hampir 38 tahun perkawinan mereka dilepaskannya dengan ikhlas.

Kalau ingat kejadian diatas, rasa sedíh itu masíh sering menyergap kembali. Namun aku sadar bahwa Ia adalah Maha Penentu atas segalanya. Apa yang dikehendaki-Nya maka itu pulalah terjadi. Hidup dan mati makhkluk seru sekalian alam adalah ditangan-Nya. Kita semua tinggal menunggu giliran akan tibanya saat itu. Mungkin besok, lusa, minggu depan, bulan depan, entah kapan kita tak akan pernah tahu.

Satu yang pasti adalah bahwa kita sudah harus siap manakala waktu itu tiba. Masalahnya sekarang adalah : SUDAH SIAPKAH KITA?

Thursday, October 19, 2006


BukPus plus Tarkel


Puasa bulan Ramadhan 1427 H kali ini akhirnya merupakan kesempatan bagi saya berpuasa bersama keluarga kembali setelah boyongan ke Jerman saat Juli lalu, tepatnya di pusat ibukota Negara bagian Bayern bernama Munich. Puasa tahun lalu dan dua tahun lalu harus saya habiskan sendirian (baca: pacce abis! ) di Dubai – UAE. Eh nggak ding, ama Dedi. Sorry ya Ded...:-)

Komunitas muslim di antara pemegang paspor Indonesia (yang ini ada 300an sesuai data Bundesapmt Poccistrasse – Munich) yang bermukim di Munich cukup banyak. Sebagaimana di negara-negara lain, mereka utamanya adalah pelajar Indonesia yang melanjutkan studi demi meraih gelar S2-S3. Sisanya barulah orang-orang yang bekerja, on job training, dan mereka yang menikah dengan bule Jerman namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia. Komunitas muslim lainnya di Munich masih didominasi oleh orang Turki yang bermukim disini atau yang sudah menjadi warganegara Jerman.

Di bulan Ramadhan ini, kegiatan Islami rutin yang diadakan oleh kelompok-kelompok pengajian diantara mereka tentu saja tetap dilakukan, bahkan cenderung lebih intensif. Kelompok pengajian Café yang terdiri dari para bujang dan eks bujang mengambil kapling di hari Jum’at setiap minggunya. Belum lagi ‘bukpus’ (baca: buka puasa) dan ‘tarkel’ (tarawih keliling) yang sering dilakukan dirumah para anggota Café maupun anggota Swadaya (yang ini lebih bersifat nasionalis karena menjaring semua kelompok tanpa memandang SARA).

Sebagaimana di negara lainnya yang berpopulasi mayoritas non Muslim, otomatis bulan puasa di Jerman adalah sama saja dengan sebelas bulan lainnya. Kalo di Dubai, atau di Indonesia kantor-kantor pemerintah dan swasta biasanya melambatkan jam masuk dan memajukan jam pulang pegawai atau karyawannya, maka hal itu tidak berlaku disini. Titik… :-( Semua sama seperti biasanya, tidak lebih, apalagi kurang. Senin sampai Jum’at, jam masuk tetap 08.00 teng, pulangnya 17.00. Waktu istirahat dari jam 12.00 hingga 13.00 yang tidak ‘terpakai’ tidak terhitung sebagai pengurang jam kerja.

Di awal-awal puasa, waktu imsak dimulai sekitar jam 05.20 dan waktu berbuka akan jatuh sekitar pukul 19.00, namun di akhir-akhir puasa, waktu imsak malah jadi pukul 06.00 dan waktu berbuka maju hingga pukul 18.20…Lumayan…Thank God, dapat waktu puasa disini dengan jadwal yang hampir bertepatan dengan musim dingin, yang notabene siangnya lebih pendek dari malamnya. Pengalaman puasa di tahun 1998 lalu saat training kesini selama 2 bulan (Nov/Dec), waktu imsaknya malah jam 07.00 dan berbuka pukul 16.00…hemmm. Eitsssss jangan sirik dulu. Soalnya meskipun waktu puasa disini lebih singkat, namun cuaca dingin ini tetap saja lebih banyak menarik kalor dari tubuh kita dibanding saat berpuasa dengan cuaca yang ‘wajar’ seperti di Indonesia. Jadi, kesimpulannya, Tuhan memang Maha Adil...

Selama Ramadhan saya sering mendapat tugas tambahan setelah pulang kantor dari Nyonya untuk berburu bahan ‘pabbuka’ di toko Asia. Kalo di Indonesia paling enak dapat tugas ini. Tinggal berlari ke pasar terdekat atau ke luar jalan, maka jajaran ibu-ibu penjaja penganan buka puasa siap menanti anda dengan berbagai penganan khas buka puasa. Es buah yang lengkap dengan cincau dan kolang kaling serta cendolnya adalah salahsatu menú andalan kami sekeluarga saat buka puasa di Indonesia. Nah kalo disini, bahan-bahan segar untuk membuat es buah sangat sulit didapat. Buah pepaya, kalaupun ada dalam bentuk kalengan. Itupun diimpor dari Thailand, dan bukannya dari Indonesia, sayang ya….Cincau sangat sulit didapat. Kolang kaling, bye…bye.

Kalo ada undangan buka puasa dari rekan Muslim lainnya di akhir pekan, barulah kita dapat kesempatan mencicipi masakan khas Indonesia yang dibuat oleh tuan rumah serta ibu-ibu yang menghadiri acara. Salahsatu yang pernah kami hadiri adalah undangan buka puasa yang diadakan oleh rekan Rachmady Iskandardinata, rekan sesama Siemens yang sudah dua tahun menetap di Munich bersama Mbak Niken istrinya dan Alza putranya semata wayang. Mengingat cuaca dingin sehingga harus dilakukan indoor dan tempat yang terbatas, undangan akhirnya disebar cuma untuk kawan terdekat saja, termasuk Mbak Lisa, rekan dari ex Siemens MKS yang bakalan tinggal setahun dalam rangka on job training, Pak Ridwan yang berdarah Enrekang yang bekerja di subcon EADS (perusahaan yang bergerak di bidang design dan perakitan pesawat terbang) dan sudah 5 tahun menetap di Munich datang bersama istrinya Tresna (pakar sambelnya Munich, asli pedes banget) dan dua putri mereka, dan Chris Hainsch, muallaf 7 tahun lalu kemudian menikahi Mbak Amik datang pula membawa kue bolu bersama dua putera mereka. Terakhir juga datang Mbak Farida yang lagi ‘isi’ ex warga Minasa Upa yang masih famili dengan tuan rumah yang kini tinggal di Munich bersama suaminya Mr. Falter dan Stephanie putrinya.

Menu utama yang disajikan ‘cuma’ ayam goreng asam manis, capcay, dan daging sapi masak lapis (khas Jawa). Rasa coklat di tiramisu sebagai dessert malam itu terasa pas. Emmhh enak banget. Jempol satu bulat penuh buat kokinya.

Namun tidak bisa dipungkiri, nuansa puasa di tanah air memang masih lebih dari segalanya. Rasa ‘uddani’ pada keluarga besar dan famili lainnya pasti tetap ada…hiks. Kesempatan untuk pulang cuti saat puasa untuk kemudian berlebaran di tanah air serasa anugrah terindah untuk saat ini. Mukul bedug takbiran, shalat Ied bersama, pulang-pulang sudah tersedia burasa’, komplit dengan nasu likku’,….wak, mo pulaaanggggggg.