aialdblog

Thursday, October 19, 2006


BukPus plus Tarkel


Puasa bulan Ramadhan 1427 H kali ini akhirnya merupakan kesempatan bagi saya berpuasa bersama keluarga kembali setelah boyongan ke Jerman saat Juli lalu, tepatnya di pusat ibukota Negara bagian Bayern bernama Munich. Puasa tahun lalu dan dua tahun lalu harus saya habiskan sendirian (baca: pacce abis! ) di Dubai – UAE. Eh nggak ding, ama Dedi. Sorry ya Ded...:-)

Komunitas muslim di antara pemegang paspor Indonesia (yang ini ada 300an sesuai data Bundesapmt Poccistrasse – Munich) yang bermukim di Munich cukup banyak. Sebagaimana di negara-negara lain, mereka utamanya adalah pelajar Indonesia yang melanjutkan studi demi meraih gelar S2-S3. Sisanya barulah orang-orang yang bekerja, on job training, dan mereka yang menikah dengan bule Jerman namun tetap memegang kewarganegaraan Indonesia. Komunitas muslim lainnya di Munich masih didominasi oleh orang Turki yang bermukim disini atau yang sudah menjadi warganegara Jerman.

Di bulan Ramadhan ini, kegiatan Islami rutin yang diadakan oleh kelompok-kelompok pengajian diantara mereka tentu saja tetap dilakukan, bahkan cenderung lebih intensif. Kelompok pengajian Café yang terdiri dari para bujang dan eks bujang mengambil kapling di hari Jum’at setiap minggunya. Belum lagi ‘bukpus’ (baca: buka puasa) dan ‘tarkel’ (tarawih keliling) yang sering dilakukan dirumah para anggota Café maupun anggota Swadaya (yang ini lebih bersifat nasionalis karena menjaring semua kelompok tanpa memandang SARA).

Sebagaimana di negara lainnya yang berpopulasi mayoritas non Muslim, otomatis bulan puasa di Jerman adalah sama saja dengan sebelas bulan lainnya. Kalo di Dubai, atau di Indonesia kantor-kantor pemerintah dan swasta biasanya melambatkan jam masuk dan memajukan jam pulang pegawai atau karyawannya, maka hal itu tidak berlaku disini. Titik… :-( Semua sama seperti biasanya, tidak lebih, apalagi kurang. Senin sampai Jum’at, jam masuk tetap 08.00 teng, pulangnya 17.00. Waktu istirahat dari jam 12.00 hingga 13.00 yang tidak ‘terpakai’ tidak terhitung sebagai pengurang jam kerja.

Di awal-awal puasa, waktu imsak dimulai sekitar jam 05.20 dan waktu berbuka akan jatuh sekitar pukul 19.00, namun di akhir-akhir puasa, waktu imsak malah jadi pukul 06.00 dan waktu berbuka maju hingga pukul 18.20…Lumayan…Thank God, dapat waktu puasa disini dengan jadwal yang hampir bertepatan dengan musim dingin, yang notabene siangnya lebih pendek dari malamnya. Pengalaman puasa di tahun 1998 lalu saat training kesini selama 2 bulan (Nov/Dec), waktu imsaknya malah jam 07.00 dan berbuka pukul 16.00…hemmm. Eitsssss jangan sirik dulu. Soalnya meskipun waktu puasa disini lebih singkat, namun cuaca dingin ini tetap saja lebih banyak menarik kalor dari tubuh kita dibanding saat berpuasa dengan cuaca yang ‘wajar’ seperti di Indonesia. Jadi, kesimpulannya, Tuhan memang Maha Adil...

Selama Ramadhan saya sering mendapat tugas tambahan setelah pulang kantor dari Nyonya untuk berburu bahan ‘pabbuka’ di toko Asia. Kalo di Indonesia paling enak dapat tugas ini. Tinggal berlari ke pasar terdekat atau ke luar jalan, maka jajaran ibu-ibu penjaja penganan buka puasa siap menanti anda dengan berbagai penganan khas buka puasa. Es buah yang lengkap dengan cincau dan kolang kaling serta cendolnya adalah salahsatu menú andalan kami sekeluarga saat buka puasa di Indonesia. Nah kalo disini, bahan-bahan segar untuk membuat es buah sangat sulit didapat. Buah pepaya, kalaupun ada dalam bentuk kalengan. Itupun diimpor dari Thailand, dan bukannya dari Indonesia, sayang ya….Cincau sangat sulit didapat. Kolang kaling, bye…bye.

Kalo ada undangan buka puasa dari rekan Muslim lainnya di akhir pekan, barulah kita dapat kesempatan mencicipi masakan khas Indonesia yang dibuat oleh tuan rumah serta ibu-ibu yang menghadiri acara. Salahsatu yang pernah kami hadiri adalah undangan buka puasa yang diadakan oleh rekan Rachmady Iskandardinata, rekan sesama Siemens yang sudah dua tahun menetap di Munich bersama Mbak Niken istrinya dan Alza putranya semata wayang. Mengingat cuaca dingin sehingga harus dilakukan indoor dan tempat yang terbatas, undangan akhirnya disebar cuma untuk kawan terdekat saja, termasuk Mbak Lisa, rekan dari ex Siemens MKS yang bakalan tinggal setahun dalam rangka on job training, Pak Ridwan yang berdarah Enrekang yang bekerja di subcon EADS (perusahaan yang bergerak di bidang design dan perakitan pesawat terbang) dan sudah 5 tahun menetap di Munich datang bersama istrinya Tresna (pakar sambelnya Munich, asli pedes banget) dan dua putri mereka, dan Chris Hainsch, muallaf 7 tahun lalu kemudian menikahi Mbak Amik datang pula membawa kue bolu bersama dua putera mereka. Terakhir juga datang Mbak Farida yang lagi ‘isi’ ex warga Minasa Upa yang masih famili dengan tuan rumah yang kini tinggal di Munich bersama suaminya Mr. Falter dan Stephanie putrinya.

Menu utama yang disajikan ‘cuma’ ayam goreng asam manis, capcay, dan daging sapi masak lapis (khas Jawa). Rasa coklat di tiramisu sebagai dessert malam itu terasa pas. Emmhh enak banget. Jempol satu bulat penuh buat kokinya.

Namun tidak bisa dipungkiri, nuansa puasa di tanah air memang masih lebih dari segalanya. Rasa ‘uddani’ pada keluarga besar dan famili lainnya pasti tetap ada…hiks. Kesempatan untuk pulang cuti saat puasa untuk kemudian berlebaran di tanah air serasa anugrah terindah untuk saat ini. Mukul bedug takbiran, shalat Ied bersama, pulang-pulang sudah tersedia burasa’, komplit dengan nasu likku’,….wak, mo pulaaanggggggg.

1 Comments:

  • At November 13, 2006 9:20 AM, Anonymous Anonymous said…

    hiks..memang sedih!! lebih enak lebaran dikampung sendiri sarat muatan sampe nggak bisa diet :p

    jangan lupa sering2 mampir ya

     

Post a Comment

<< Home